“nak”
Aku berlarian
riang menujunya dan meninggalkan semua mainan yang sudah menjadi bagian
hidupku, teman masa kecilku. Rambutku yang bergoyang-goyang lucu di kepang 2
presisi di kiri dan kanan, pipiku yang tembam dan bersemu merah sudah persis
seperti tomat yang sudah ranum. Bergoyang-goyang searah dengan naik turunnya
badanku saat berlari menuju kearah ibu.
“ibu sudah pulang
?” tanyaku penuh riang saat menuju kearah ibu
“bagaimana harimu
nak ? apakah hari ini menyenangkan ?”
“hari ini aku
mendapatkan teman baru ibu, namanya andi. Kata ibu guru saat menjelaskan
didepan kelas bahwa andi berasal dari tempat yang jauh, rumahnya dulu sebelum
pindah berada di pulau yang berbeda dari tempat kita ini”
“apakah dia
berbeda denganmu nak ?”
Saat itu aku
belum benar-benar faham tentang perihal apa yang aku rasakan. Gejolak aneh itu
tidak pernah tuntas aku artikan. Tanpa sadar saat itu aku selalu tertarik
menceritakan tentang andi pada ibu setiap dia pulang kerja. Dua bulan lebih
setelah kedatangan andi aku tak habis-habisnya menceritakan tentang andi pada
ibu. Mulai dari matanya yang lebih kecil daripada teman-temanku yang lain,
pertama kali aku berfikir mungkin dia alergi terhadap cahaya. Jadi setiap
terkena cahaya dia selalu memicingkan matanya. Warna kulitnya yang lebih putih
daripada anak lain, saat itu dengan polosnya kupikir dia adalah anak yang
menderita penyakit albino. Logat dan cara bicaranya juga lucu dan aneh, seperti
tukang sate di film yang kulihat di serial televisi. Dia menggunakan bahasa
yang sama seperti yang kugunakan, tetapi karena logat dan cara penyampaiannya
yang berbeda, dia seperti menggunakan bahasa lain yang sulit dikenali.
Aku lupa saat itu
malam keberapa, namun aku masih tak henti-hentinya menceritakan tentang andi.
Hari ini aku bercerita tentang cara bicaranya. Daripada disebut seperti tukang
sate dia lebih mirip seperti alien di film minggu pagi. Aku sampai
memberikannya julukan “alien lucu” pada andi. Alien murujuk pada cara bicaranya
yang aneh dan lucu karena apa yang dikatakan menjadi lucu karena logatnya yang
aneh itu serta kulit tubuhnya yang lebih terlihat seperti orang albino. Entah
kenapa hari itu ibu berbeda seperti biasanya, kupikir ibu hanya lelah. Setelah
aku bercerita dengan riang ibu berbicara lebih banyak daripada biasanya. Ibu
mengatakan banyak hal yang saat itu tidak bisa aku fahami. Ibu bercerita
tentang masa mudanya serta hal-hal lain yang baru kudengar dari ibu saat itu.
Ibu bercerita tentang cinta dan persahabatan. Cinta bisa membesar teramat
sangat besar seperti spoon yang dituangkan air, begitu misterius seperti
palung-palung laut yang belum diketahui oleh umat manusia, serta dapat menjelma
menjadi banyak hal seperti maui dengan kail saktinya. Dari banyak jelmaan cinta
yang ada, salah satu hal yang paling meyakitkan dari penjelmaan cinta adalah
persahabatan, cinta yang menjelma menjadi persahabatan sangat menyakitkan untuk
salah satu pihak yang masih memendam perasaannya terlalu dalam. Setelah
pembicaraan itu ada 2 hal yang membuatku berfikir sangat dalam. Yang pertama
pastinya karena kenapa dari banyak hari, ibu bercerita hal ini pada hari ini.
Yang kedua lebih karena kebingunganku kenapa ibu mengatakan begitu banyak hal
yang tak kupahami, apa yang sebenarnya ibu harapkan, aku baru kelas 2 SMP saat
ibu mengatakan semua hal yang membingungkan itu.
Lambat laun aku
mulai melupakan hal itu. Waktu berjalan sangat cepat dan tanpa terasa aku sudah
berada di penghujung tahun ke 3 ku bersekolah. Kesibukan menimbun habis ingatan
tentang hal itu, mulai dari ujian praktek, unas, belajar bersama dan, banyak
hal lain yang menjadikanku sangat sibuk menyiapkan masuk ke SMA yang ingin
kutuju.
Dipenghujung
kesibukan itu akhirnya masuk di tahap akhir yakni mendaftar ke sma terfavorit
di kotaku. Bukan tanpa alasan aku mendaftar kesana. Aku termasuk anak yang
pintar disekolahku jadi seharusnya tidak sulit masuk kesana, dan sekolah
tersebut adalah sekolah paling dekat dengan tempatku tinggal. Dulu di sela-sela
kesibukanku ibu pernah berpesan untuk masuk kesana karena dekatnya dengan rumah
dan harapan ibu cukup besar padaku mengingat aku adalah anak satu-satunya yang
menjadi kebanggaan dan harapannya nanti. Makhlum ayah sudah pergi jadi kamu
hanya tinggal berdua dan karena sering tidak ada kesibukan setelah ibu pulang
bekerja maka kami semakin sering berbicara bahkan sampai aku kelas 3 smp.
Banyak sekali syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memasuki sma helios, aku
sampai kewalahan menyiapkannya, namun ibu di sela lelahnya sepulang bekerja
sebisa mungkin membantuku. Dengan semua kesusahan yang ada akhirnya aku
diterima masuk dengan predikat siswa terbaik. Tak heran mengingat semasa smp
aku mendapatkan gelar juara olimpiade matematika setingkat provinsi.
Kejutan justru
datang bukan karena aku diterima dan ditempatkan di kelas favorit, kejutan
justru datang karena aku sekelas lagi dengan si “alien lucu”. Kebetulan yang
menyenangkan pikirku. Aku tidak terlalu memperhatikan, ternyata andi juga cukup
pintar dari dulu dan oleh karena itu akhirnya kami berdua menjadi tujuan
teman-teman dikelas untuk bertanya berbagai macam mata pelajaran dikelas. Namun
ada perbedaan yang sangat signifikan pada diri kami. Tidak seperti diriku yang
sangat membenci sastra dan seni karena sangat tidak baku dan terus
berubah-ubah, andi malah lebih menyukai kedua mata pelajaran itu. Kami jadi
paket lengkap dimana aku yang kuat dibidang ilmu pasti dan andi di bidang ilmu
yang menurutku tidak pasti dan berubah-ubah. Karena hal itu akhirnya aku
memutuskan untuk menyarankan belajar kelompok, untuk teman-temanku agar
menambah pengetahuannya dan untukku sendiri agar aku tidak terlalu tertinggal
dibidang yang tidak kusukai. Setidaknya alasan itu yang terfikirkan saat itu,
aku harus menjadi lebih baik dan mulai memahami hal selain yang kusukai.
Menyenangkan bisa bersama teman-teman diluar jam sekolah.
Fakta kecil yang
baru kuketahui setelah hampir setengah tahun kami sma adalah bahwa andi
memengkan lomba puisi dan sajak setingkat nasional di saat aku mengikuti
olimpiade ku. Andi yang sangat pendiam dan tidak terlalu suka melakukan
pembicaraan yang tidak penting ternyata pembuat sajak yang ulung. Pantas saja
banyak wanita yang mendambakannya. Aku mengetahui itu saat salah satu temanku
menjelaskannya karena dia juga menjadi salah satu kandidat kuat saat itu. Andi
tak juga berubah dari kebiasaannya, hanya menoleh dan menganggap itu bukanlah
hal yang penting. Aku berfikir kenapa bisa teman-temanku sangat memujanya
dengan sifatnya yang sangat buruk itu. Tidak, aku tidak cemburu. Itu hanya
bentuk ketidaksukaanku padanya di sisi sifatnya yang sangat dingin. Namun
karena aku membutuhkannya aku tetap terlihat sering bersamanya, ditambah lagi
dia pindah ke perumahanku setelah 3 bulan masuk sma. Katanya mereka masih
menumpang di rumah saudara selama ini dan ayahnya berfikir mereka akan tinggal
lama disini, jadi tidak masalah untuk membeli rumah sederhana disini.
Setidaknya sampai selesai pendidikan andi disini baru mungkin mereka akan
pindah lagi. Karena rumah kami dekat kami lebih sering bertemu dan entah kenapa
ibu cukup akrab dengan ibunya andi. Jadi ibu menyarankan kami untuk berteman
baik. Karena itu pulalah kami jadi dianggap berpacaran oleh teman-teman
disekolah. Aku tidak terlalu memperdulikan rumor bodoh itu, andipun sepertinya
begitu. Tapi aku tidak benar-benar yakin karena dalam keadaan apapun dia selalu
seperti itu. Ekpresinya sangat susah ditebak. Aku menganggap andi hanyalah
sahabatku, walaupun harus kuakui dia sangat menjengkelkan tapi dia adalah teman
yang baik dan gelar sahabat menurutku sangat cocok untuknya.
Hari ini hujan,
setiap hari hujan, 3 bulan ini hujan, setiap sore hujan, menjemput janji musim
hujannya. Selalu tepat dan tidak pernah lelah menjemput janjinya. Janji yang
memuakkan dan terus menerus berulang. Maklum bulan-bulan ini adalah akhir musim
penghujan, jadi sangat maklum saat debit air hujan sedang deras-derasnya, dan
udara sedang dingin-dinginnya. Sial !! pikirku, aku mengeluarkan seluruh isi
tasku saat bel akhir pelajaran berbunyi dan aku tidak menemukan payung yang
selalu kubawa. Aku baru ingat bahwa aku kemarin terlalu terburu-buru untuk
mengerjakan tugas sekolahku saat sampai kerumah dan tanpa sadar lupa memasukkan
payung yang kubiarkan diteras rumah agar air yang mengenainya jatuh dan payung
itu bisa kulipat kembali. Betapa cerobohnya aku, aku jadi ingat dimana dulu aku
juga lupa membawa tugas akhir pelajaran seni di smpku dihari terakhir
pengumpulan tugasnya, untung saja waktu itu ada andi yang bisa dengan sigap
membuatkanku tugas akhir yang ala kadarnya untuk sekedar membuatku mendapatkan
nilai rata-rata. Menurutku itu sudah cukup karena mengingat aku tidak terlalu
suka pelajaran seni. Namun hari ini bahkan punggung andi sudah tidak bisa
kutemukan saat teman-teman sekelasku meninggalkan ruangan kelas, siapa yang
akan membantuku.
Akhirnya aku
berjalan dengan penuh amarah pada diriku sendiri tentang bagaimana aku bisa
begitu teledor dalam menyiapkan kebutuhanku sendiri. Aku berjalan dengan cepat
sampai mencapai pos satpam didepan sekolahku dengan harapan ada orang rumah
yang sadar bahwa aku lupa membawa payung dan menjemputku. Nihil, tidak ada
orang disana. Akhirnya aku diam dengan penuh penyesalan. IYA, bagaimana aku
bisa lupa aku membawa handphone, kenapa tidak mengabari orang rumah saja,
akhirnya itu hanya menjadi penyesalan keduaku dihari itu saat mengetahui
baterai handphone ku habis. Kemarin karena terlalu bersemangat mengerjakan
tugas matematika dari sekolah aku langsung tertidur setelah selesai dan lupa
mengisi baterai handphone ku. Akhirnya aku hanya bisa melihat beberapa temanku
dari kelas yang lain yang sepertinya baru selesai jam pelajarannya menyapaku
sambil berjalan berlalu menggunakan payung, aku hanya menanggapinya dengan
senyum tipis, terlalu marah untuk sekedar mengajak berbicara dan menumpang
payung untuk pulang. Dalam kegundahan hati mengamati langit yang sepertinya
sangat gelap dan pekat ada seseorang yang berjalan menghampiri pos satpam,
kupikir mungkin ada perlu dengan pak pardi satpam sekolahku. Jadi, aku
menghiraukannya sampai orang dalam payung besar itu menyapa
“kok belum pulang
put ?”
“Kak reno ?”
Kejutan yang
menyenangkan menemukan kak reno disaat seperti ini. Kak reno adalah seniorku di
sekolah yang ikut menyiapkan masa pengenalan siswa baru saat aku masuk kesini.
Saat itu, kak reno menjadi perwakilan panitia menjadi pembimbing dikelasku. Dia
cukup tampan jadi banyak teman kelasku yang menyukainya.
“iya kak, aku
lupa bawa payung dan juga lupa mengisi baterai handphoneku. Akhirnya aku
berakhir disini, menunggu hujan reda”
“Dari awan yang
begitu gelap dan pekat, hujan mungkin akan terus turun sampai 2 jam atau bahkan
lebih. Tampias air akan membuatmu jatuh sakit, sebaiknya kau pulang bersamaku.
Payungku cukup besar untuk kita berdua, tapi itupun kalau kamu mau”
Penjelasan kak
reno saat itu cukup masuk akal dan itu juga yang menjadi ketakutan terbesarku
saat aku menatap langit, bisa gawat saat aku terlalu banyak terkena tampias air
dan tak kunjung bisa pulang kerumah
“apakah tidak
merepotkan kak ?”
“tentu tidak. Ayo
bergegas, hujannya makin deras”
Setelah kejadian
itu akhirnya aku “mengenal” kak reno lebih baik. Wajah yang selama masa
pengenalan lingkungan sekolah tidak menjadikan patokan bahwa sifatnya juga
seburuk wajah yang ditampilkan saat itu. Entah awalnya bagaimana tapi kami
akhirnya lebih sering berkomunikasi. Kak reno sering menanyakan tentang pelajaran-pelajaran
yang tidak aku bisa dan selalu menawarkan untuk mengajari saat aku mengatakan
tidak bisa. Jadi kadang 2 atau 3 kali dalam seminggu kami selalu bertemu di
waktu jam istirahat untuk membicarakan hal yang tidak aku bisa. Tetapi
pembicaraan itu tidak akan jauh dari seni karena aku paling tidak bisa
pelajaran itu (selain pelajaran bahasa indonesia tentunya) dan entah kebetulan
apa kak reno ini sangat mahir dalam pelajaran itu. Aku merasa cocok dengannya
karena biasanya dia juga bertanya padaku tentang pelajaran matematikanya
setelah di minggu ke 3 hari selasa setelah peristiwa hujan saat itu temanku
melihatku bersama kak reno dan menjelaskan dengan melebih-lebihkan bahwa aku
pernah menjadi juara kabupaten olimpiade matematika disaat aku masih smp. Saat
itu pipiku memerah mendengar temanku ini terlalu melebih-lebihkan, mungkin
wajahku sudah seperti tomat yang sedang matang.
Hari-hari
selanjutnya berjalan sangat biasa dan monoton. 2 hari sekali dalam seminggu
belajar kelompok dirumahku dan di rumah andi bergantian. 3 kali dalam seminggu
bertemu kak reno di waktu istirahat dan membicarakan pelajaran serta beberapa
karya seni yang dia sukai, terutama masalah gambar abstrak dan sejenisnya. Sebenarnya
aku tidak terlalu faham tentang gambar abstrak tapi karena sangat sering
dibahas oleh kak reno tanpa sadar aku mulai menyukainya dan akhirya itu menjadi
bahan diskusi yang menarik. Intensitas kami berkomunikasi semakin sering sampai
merambah media sosial dan setiap ada waktu untuk berbicara akan kami ambil
untuk mendiskusikan mulai dari hal-hal yang penting sampai ke hal tidak penting
yang mungkin orang lain tidak akan memikirkannya. Pernah suatu waktu kami
mendiskusikan tentang berbicara dengan hewan-hewan dan tumbuhan serta berbagai
macam makhluk mati, di lain kesempatan kami akan membicarakan tentang sebesar
apa luar angkasa dan ada apa saja disana. Bintang gemintang, komet, satelit
alami, galaksi dan banyak hal lain yang ada disana. Semakin lama aku semakin
dekat dengan kak reno karena banyaknya kesamaan kami yang satu persatu mulai
ketahuan karena intensitas kami berbicara yang makin sering. Tapi entah kenapa
aku merasa semua kegiatan ini begitu monoton dan terus berulang, walaupun kami
tidak pernah membicarakan hal yang sama tapi kegiatan ini terus berulang dan
membuat bosan. Satu nasehat lama yang sangat sederhana malah terlupa olehku. Nasehat
itu berkata bahwa “hal yang paling ditakuti oleh nelayan bukanlah badai dan air
laut yang berkecambuk, laut yang sangat tenang dan cuaca yang baik seringkali
menyimpan lebih banyak hal tak terduga didalamnya dan bahaya yang tersimpan
sangat rapi”. Aku menyadari hal ini saat hal itu sudah tidak bisa dicegah lagi
dan semua usaha sudah terlambat. IBU PERGI